Pages

Status Perlindungan Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus)

Beberapa bulan yang lalu telah ditetapkan status perlindungan terhadap ikan  Cheilinus undulatus atau yang biasa disebut ikan  Napolen dengan diterbitkannya keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor : 37/KEPMEN-KP/2013.
 
Terkait hal tersebut diatas Direktur Pengawasan Sumber Daya Perikanan dengan suratnya No. 153/PSDKP.1/TU.210/VIII/2013  perihal Kepmen KP Nomor : 37/KEPMEN-KP/2013 ditujukan kepada Kepala UPT Pengawasan SDKP guna diteruskan kepada Pengawas Perikanan pada Satker/Pos PSDKP di wilayah kerja Saudara, untuk diketahui, dipelajari, dan dipergunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan pengawasan penangkapan dan pengangkutan ikan hidup, khususnya ikan Napoleon.
 
Isi Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor : 37/KEPMEN-KP/2013 tanggal 2 Juli 2013 tentang Penetapan Status Perlindungan Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) adalah sebagai berikut.
1. Menetapkan ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) sebagai jenis ikan yang dilindungi dengan deskripsi sebagaimana tersebut dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini.
2. Perlindungan ikan Napoleon (Cheilinus undulatus)sebagaimana dimaksud diktum KESATU dengan status perlindungan terbatas untuk ukuran tertentu.
3. Perlindungan terbatas untuk ukuran tertentu sebagaimana dimaksud diktum KEDUA yaitu:
a. ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) berukuran dari 100 (seratus) gram sampai dengan 1000 (seribu) gram; dan
b. ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) lebih dari 3000 (tiga ribu) gram.
4. Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada diktum 3 diperbolehkan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan.
5. Pada saat Keputusan Menteri ini mulai berlaku, maka Peraturan Menteri Pertanian Nomor 375/Kpts/IK.250/5/95 tentang Larangan Penangkapan Ikan Napoleon Wrasse dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
6. Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Juli 2013

Pada lampiran Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan dijelaskan DESKRIPSI IKAN NAPOLEON (Chielinus undulatus)  sebagai berikut 


A.  KLASIFIKASI

Kingdom   :  Animalia
Phylum      : Chordata,
Class         : Osteichthyes
Sub Class  : Actinopterygii
Ordo         : Perciformes
Family       : Labridae
Genus        : Cheilinus
Species      : Cheilinus undulatus (Ruppell, 1835), 

B.  GAMBAR MORFOLOGI JENIS IKAN NAPOLEON (Chielinus undulatus)
 

Keterangan Gambar: (a) Juvenil; (b) Juvenil; (c) Dewasa; (d) Dewasa

C.  DESKRIPSI JENIS
Jenis ikan Napoleon merupakan ikan terbesar dari kelompok Labridae, dapat mencapai ukuran 2 (dua) meter dengan berat 190 (seratus Sembilan puluh) kilogram. Pada terumbu karang dengan tekanan penangkapan relative rendah, ukuran ikan Napoleon ditemukan bervariasi dengan panjang antara 60 – 100 cm. Ukuran panjang ikan Napoleon mempunyai korelasi dengan ukuran berat, ikan napoleon dengan berat 1000 gram mempunyai panjang total sekitar 38 cm dan ikan napoleon yang mempunyai berat sekitar 3000 gram mempunyai panjang sekitar 55 cm.

Semua fase mempunyai garis diagonal berwarna hitam dibawah matanya. Guratan-guratan tersebut berwarna krem (kuning susu) yang saling tumpang tindih pada bagian hidung dan pipi, kemudian meluas keatas badan dan seberang ujung sirip dada. Lingkar bola matanya dapat melihat arah sudut pandang sampai 180 (seratus delapan puluh) derajat. Sisik badan sangat besar, ditepi sisik-sisiknya terdapat garis vertical berwarna krem kehitaman.

Ikan Napoloen memiliki pola reproduksi Protogynus Hermaphrodite, dimana yang lahir sebagai betina akan berubah kelamin menjadi jantan pada saat menginjak dewasa {(ukuran 55 (lima puluh lima) centimeter dan 75 (tujuh puluh lima) sentimeter)}. Ikan betina berwarna ke abu-abuan, merah, atau coklat yang pudar sedangkan jantan berwarna hijau terang atau kebiru-biruan dengan pola garis-garis berlekuk di bagian kepala dan bagian depan dari tubuhnya. Ikan napoleon cenderung hidup soliter, berpasangan, atau sering dijumpai dalam kelompok kecil antara 3 (tiga) sampai dengan 7 (tujuh) ekor.

1. Fase Larva adalah Jenis Ikan Napoleon pada fase larva banyak dijumpai di daerah seagrass dari jenis Enhalus acoroides, di karang keras dari genus Acropora dan Porites dan di soft coral dari jenis Sarcophyton sp.

2. Fase Juvenil adalah Ikan juvenile berwarna hijau pucat dengan garis-garis berwarna gelap pada sisiknya. Juvenil yang berukuran 3 (tiga) sampai dengan 20 (dua puluh) sentimeter TL (Total Length) atau lebih dijumpai di daerah terumbu di dalam goba (mendiami daerah goba dengan karang yang subur (inner reef), terutama dari karang bertanduk dan Acropora spp, daerah padang lamun (seagrass bed), perairan yang keruh di terumbu karang, perairan dangkal berpasir dekat goba dan daerah mangrove yang berdekatan dengan terumbu karang.

3. Fase Dewasa adalah Ikan dewasa memiliki tonjolan dibagian dahinya dan memiliki bibir yang padat dengan sepasang gigi yang keras. Begitu dewasa, warna tubuhnya menjadi hijau kebiru-biruan dengan garis-garis lebih jelas. Ikan dewasa lebih umum dijumpai di daerah yang lebih dalam, menyukai daerah lereng terumbu, daerah terumbu yang curam, rataan terumbu, daerah kanal yang curam di dalam terumbu, daerah goba sampai kedalaman 100 (seratus) meter. Ikan ini lebih menyukai hidup di daerah terumbu karang yang banyak terdapat makanan kesukaannya yaitu beberapa jenis sea urchin, molusca, dan crustacean.

Sumber: http://kkp.go.id

Pencemaran Laut Sebabkan Krisis Ikan di Muncar, Banyuwangi

Beberapa bulan terakhir, terjadi krisis ikan di Pelabuhan Muncar, Banyuwangi. Apa penyebabnya? Pencemaran air laut lah yang menyebabkan kawasan ujung timur Pulau Jawa ini mengalami krisis ikan.

"Pengendalian pencemaran lingkungan di Muncar memerlukan komitmen bersama untuk merumuskan program dan rencana kegiatan yang terpadu dan berkesinambungan bagi perbaikan ekonomi dan lingkungan di Kabupaten Banyuwangi dan Muncar khususnya," kata Menteri Negara Lingkungan Hidup Gusti M Hatta dalam dialog dengan warga.

Dalam dialog yang melibatkan sejumlah nelayan serta pengusaha ikan di Muncar, topik yang paling menyita perhatian adalah tentang mulai langkanya ikan di perairan Muncar. Padahal, kawasan Muncar terkenal sebagai sentra pendaratan ikan terbesar dan sentra industri pengolahan ikan di Jawa Timur.

Berdasarkan data yang ada, setiap hari ikan yang dibongkar di Muncar minimal 500 ton dan sekitar 90 persen di antaranya dipasok ke industri pengolahan ikan setempat. Data Sekretariat Kabinet RI menunjukkan, Muncar merupakan penghasil ikan terbesar di Jawa Timur dengan produksi ikan tahun 2010 sebesar 27.748 ton. Dimana produksi ikan olahan diekspor ke Eropa, Jepang, Uni Emirat Arab, Amerika Serikat, Australia, Singapura, dan Kanada sebanyak 1.562.249,72 kg per bulan dengan nilai ekonomi sebesar hampir Rp 20 miliar.

Angka ekonomi tersebut sebenarnya bisa ditingkatkan apabila daya dukung dan kualitas perairan Muncar tetap dapat dipertahankan dari kemungkinan terjadinya overfishing dan pencemaran.

Sayangnya, potensi besar tidak dapat dimaksimalkan lantaran banyak perusahaan perikanan di Muncar dalam melakukan aktivitas produksinya kurang memperhatikan pengelolaan limbah dari kegiatan produksi. Bisa tebak, akibat pencemaran tersebut produksi penangkapan menurun drastis.

Berdasarkan hasil penelitian terbaru Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta tahun 2010 terungkap, tingkat pencemaran sudah menjangkau kawasan perairan Muncar sejauh 200 hingga 350 meter dari bibir pantai. Termasuk, sungai-sungai di Muncar yang dijadikan tempat pembuangan limbah seperti Kali Mati, Kali Tratas, dan Kali Moro. Kondisi kali tersebut cukup parah.

"Boleh jadi karena kondisi pencemaran tersebut, ikan-ikan di Muncar pada pindah ke perairan lain. Kalaupun ada, ikan-ikannyta tidak merasa nyaman (karena pencemaran," sambung Guru Besar Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) itu.

Karena itu, lanjutnya, untuk merumuskan program dan rencana kegiatan yang terpadu dan berkesinambungan bagi perbaikan ekonomi dan lingkungan di Kabupaten Banyuwangi dan Muncar khususnya, Kementerian Lingkungan Hidup telah memprakarsai penyusunan dokumen Rencana Aksi penanganan Muncar bersama-sama dengan instansi terkait. Itu merupakan program 5 tahunan sampai tahun 2014. Dokumen tersebut bertujuan mensinergikan kegiatan pada masing-masing sektor, memperjelas siapa berbuat apa, target yang ingin dicapai dan menghindari tumpang tindih kegiatan untuk menciptakan keterpaduan dalam pelaksanaannya.

Dalam kaitannya dengan pengendalian pencemaran, Kementerian Lingkungan Hidup akan memberikan bantuan berupa unit instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal senilai Rp 30 Miliar yang akan dibangun pada tahun 2012. Sebagai persiapan, pembangunan IPAL komunal tersebut, pada tahun 2011 ini akan dilakukan revisi terhadap detail engineering design (DED) IPAL, serta kajian kelembagaan pengelolaan IPAL tersebut.


Sumber : Kompas.com

FOOD SAFETY, SYARAT MUTLAK EKSPOR

Ekspor produk perikanan Indonesia pada kuartal pertama tahun 2013 sudah menyentuh angka USD$ 3,9 milyar. Nilai ekspor ini berjalan parallel dengan perbaikan pengendalian mutu dan keamanan pangan atau food safety, yang terus dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). "Keamanan pangan, tidak bisa ditawar. Bahan tambahan formalin, borak atau mercury sekecil apapun akan menggagalkan produk perikanan masuk ke pasar". Demikian dikatakan Pelaksana Tugas Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan  Kelautan dan Perikanan, Achmad Poernomo, di Jakarta (6/09).
Ketentuan keamanan pangan atau food safety merupakan  syarat mutlak bagi setiap produk perikanan yang akan masuk pasar ekspor. Setiap negara sangat ketat pada ketentuan penerapan keamanan pangannya. Bahkan, mereka berbeda menerapkan ketentuan berdasarkan Risk Assessment (RA) masing masing negara.  Risk Assessment merupakan proses penilaian yang digunakan untuk mengidentifikasi resiko atau bahaya yang mungkin terjadi pada produk perikanan. “Upaya pengendalian mutu harus dibarengi dengan risk assessment. Untuk produk perikanan, kendatipun harga RA mahal, tetapi tetap harus dilakukan. Assessment bisa semakin kuat, bisa menopang pengendalian mutu dan keamanan pangan,” tegasnya.
Untuk meminimalkan biaya risk assessment, bisa dilakukan kerjasama antar berbagai instansi dan institusi terkait. Untuk produk perikanan, risk assessment bisa dilakukan dengan asosiasi, perguruan tinggi serta lembaga yang berkompeten seperti Kementerian Perindustrian dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta para stakeholder perikanan. Para Stakeholder ini bisa saling kerjasama untuk memperkuat komitmen di dalam negeri. Bahkan stekeholder bisa melakukan pendekatan ke importir untuk penguatan citra produk perikanan ke luar negeri. "Risk assessment harus dibarengi dengan survey. Termasuk pemeriksaan terhadap masing-masing orang. Apalagi setiap orang akan berbeda kekuatannya dalam menerima bahan kimia misalnya. Prosedur seperti ini sudah dilakukan oleh BPOM dan ITB dalam melakukan riset keamanan pangan,” jelasnya.
KKP sendiri menurut Achmad Poernomo sudah memiliki alat pendeteksi bahan berbahaya yang terdapat pada produk perikanan. Untuk mendeteksi formalin atau borak, kini konsumen tidak perlu lama menunggu hasil laboratorium. KKP telah menciptakan Kit Antilin, sebagai alat pendeteksi kandungan bahan berbahaya yang terdapat pada ikan. Kit Antilin ini cukup mudah penggunaannya serta hasilnya cepat untuk diketahui. Bahkan KKP sudah mengembangkan bahan tambahan atau pengawet produk perikanan yang aman untuk dikonsumsi. “Sebenarnya kualitas ikan masih bisa dinegosiasikan, misalnya warna tidak apa-apa. Namun untuk kandungan bahan berbahaya demi keamanan pangan, tidak bisa ditolerir,” katanya.
Diversifikasi Produk

Menurut Ahmad Poernomo, produk ekspor perikanan paling banyak didominasi adalah komoditi udang dan tuna. Kemudian menyusul produk rumput laut kering. Untuk lebih kompetitif di pasar ekspor, perlu dilakukan diversifikasi produk olahan. Terutama produk olahan yang bisa masuk ke pasar-pasar retail pack. Bahkan produk ke retail pack harus diperbanyak, karena produk ini bisa langsung dipasarkan di super market yang kini jumlahnya terus meningkat. “Diversifikasi olahan ikan untuk luar negeri memang harus diperbanyak jenisnya. Apalagi, kini trend pasar lebih banyak menyukai produk siap saji dan dikemas secara cantik, praktis dalam bentuk tas menarik. Contoh produk seperti ini banyak kita jumpai dipasar luar negeri,” ujarnya.
Saat ini produk perikanan olahan masih bertumpu pada udang. Dari segi volume, produk udang olahan masih besar. Kemudian  disusul kelompok tuna, rajungan dan kepiting. Patin, sementara hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri, jadi tidak perlu impor, karena produk patin terus berkembang. Dari semua produk ekspor, sebagian besar dalam bentuk frozen, karena relatif lebih mudah dilakukan dan tahan lama. Sedangkan pasar terbesar masih didominasi Amerika dengan nilai USD$ 1,2 milyar per tahun. Kedua, Jepang USD$ 800 juta dan yang ketiga Uni Eropa (27 negara) dengan nilai USD$ 400-500 juta.

Penulis : Anang Noegroho